Sifat Wara Menyelamatkan Akhirat Hamba
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
Sifat Wara’ Menyelamatkan Akhirat Hamba adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Aktualisasi Akhlak Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 15 Dzulqa’dah 1441 H / 6 Juli 2020 M.
Ceramah Agama Islam Tentang Sifat Wara’ Menyelamatkan Akhirat Hamba
Pada pertemuan sebelumnya kita sudah berbicara tentang beberapa poin, yaitu Zuhud dan Qana’ah. Ada satu lagi akhlak yang merupakan rangkaian dari akhlak-akhlak tersebut, yaitu wara’.
Wara’ ini mungkin identik dengan menjauhi perkara-perkara syubhat. Nabi mengatakan:
إنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ، فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقْد اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Perkara yang halal itu jelas, yang haram juga jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang masih samar-samar atau syubhat yang banyak manusia tidak mengetahui atau tidak menyadarinya. Dan barangsiapa yang menjaga diri dari perkara syubhat itu maka dia telah menjaga kebersihan agama dan menjaga kehormatan dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Lihat juga: Hadits Arbain Ke 6 – Hadits Tentang Syubhat
Itulah wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang dikhawatirkan bisa mendatangkan kerugian bagi seorang hamba di akhirat kelak. Ini adalah satu definisi yang diutarakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, beliau menjelaskan bahwa wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang dikhawatirkan bisa membawa kerugian atau mudharat bagi seorang hamba terhadap agamanya nanti di akhirat.
Dan tentunya ini hampir mirip dengan zuhud. Hanya saja zuhud itu adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Adapun wara’ meninggalkan sesuatu yang bisa mendatangkan mudharat bagi kita nantinya di akhirat.
Menurut ulama lainnya, wara’ itu adalah meninggalkan segala sesuatu yang bisa menimbulkan keragu-raguan atau was-was dan menjauhi semua yang bisa menodai kesucian dan bisa merusak hati kita dan memilih apa yang sudah diyakini baik dan benarnya. Seperti wara’ dari berkata-kata sesuatu yang tidak berfaidah, mungkin sepertinya mubah tetapi bisa membawa mudharat, itulah wara’ di dalam hal berkata-kata. Demikian juga di dalam mencari harta, bersikap wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang masih dalam “samar-samar” antara halal dan haram. Mungkin ada perkara-perkara mubah yang nyerempet-nyerempet yang bisa jatuh pada perkara yang haram, maka ia meninggalkan itu karena wara’ dia di dalam beragama.
Tentunya disana ada ruang antara hitam dan putih yang masih abu-abu, kadang-kadang hati berkata jangan lakukan, jangan dekati, jangan ambil, akan tetapi nafsu kadang-kadang mendorong kita untuk menerobosnya. Jadilah perkara itu abu-abu atau samar-samar. Di sinilah perlu sifat wara’ tadi untuk memenangkan dan memilih kata hati yang paling dalam tadi yang memang fitrah manusia terdorong kepada hal-hal yang baik. Apalgi seorang mukmin ada penasihat Allah yang senantiasa membisikkan kebaikan-kebaikan yang kadang-kadang kalau kita tidak punya wara’ maka bisikan-bisikan baik yang berasal dari malaikat yang membisiki dan mengajak kita kepada kebaikan bisa saja kita abaikan dan kita lebih memilih hawa nafsu ataupun bisikan setan dimana ini adalah perkara-perkara yang justru akhirnya menyeret kita kepada keburukan. Di sinilah pentingnya kita seorang hamba mukmin memiliki sifat wara’ dan menundukkan hawa nafsu agar mau melakukan perkara-perkara yang berat untuk dikerjakan.
Apabila melihat pada pengertian kedua ini, maka sifat wara’ mencakup meninggalkan semua yang diharamkan maupun semua yang masih syubhat (samar-samar) serta tidak berlebih-lebihan didalam melakukan apa-apa hukumnya mubah yang kadang-kadang menyeret kita kepada perkara makruh dan akhirnya ia menjerumuskan kita kepada perkara yang haram.
Seperti penggembala yang diumpamakan di dalam hadits tersebut yang menggembalakan hewan-hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan. Maka tinggal tunggu waktu hewan-hewan itu akan menyeberang ke daerah larangan itu dan merumput di tempat yang terlarang. Jadi seperti itu contoh yang diberikan Nabi berkaitan dengan menjaga diri dari syubhat. Di sinilah perlu sifat wara’ tadi sehingga tidak dengan mudah kita melakukan pembenaran untuk menerobos hal-hal yang syubhat tadi yang pada akhirnya menyeret kita kepada perkara yang haram. Nabi juga menatakan:
ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ
“Barangsiapa yang jatuh dalam perkara syubhat, maka (nantinya) dia akan jatuh dalam perkara yang haram.” (HR. Bukhari Muslim)
Artinya sejauh mana seorang hamba bisa bertahan dari perkara haram itu sementara perkara haram itu sudah ada di depan matanya, dia sedang berada di daerah abu-abu, tinggal selangkah lagi dia akan menapakkan kakinya di perkara haram tadi, sementara musuhnya tidak terlihat (yaitu setan) yang terus mendorongnya untuk berbelok ke kanan dan ke kiri.
Maka dari itu sifat wara’ ini diperlukan oleh seorang mukmin untuk dia menjaga dirinya agar tetap berada dijalur kebenaran, jalur halal, jalur yang baik, shirathal mustaqim.
Tingkatan Wara’
Meninggalkan semua perkara yang diharamkan merupakan wara’ yang wajib, ini ditujukan oleh semua muslim tanpa terkecuali, ini wara’ terhadap perkara yang haram. Adapun terhadap perkara yang masih samar-samar ataupun yang jelas-jelas mubah atau dibolehkan maka hukumnya mandub (dianjurkan). Ini wara’ yang dianjurkan, dalam perkara-perkara yang makruh atau perkara yang masih mubah atau yang masih samar-samar, maka ini hukumnya dianjurkan, tapi wara’ terhadap perkara yang haram ini adalah wara’ yang wajib.
Mari download mp3 dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.
Download MP3 Kajian Tentang Sifat Wara’ Menyelamatkan Akhirat Hamba
Podcast: Play in new window | Download
Download mp3 yang lain tentang Aktualisasi Akhlak Muslim di sini.
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48681-sifat-wara-menyelamatkan-akhirat-hamba/